Di Amerika, Koleksi Buku Bisa Membuat Anda Dipenjara?

“Love and solidarity to all those who resist.”

Ya, paling tidak ini yang terjadi dengan Leah-Lynn Plante, seorang gadis asal Seattle, Amerika Serikat yang kini berada dalam tahanan karena menolak memberi kesaksian pada pengadilan yang melakukan investigasi atas para aktivis Anarkis di kawasan Pacific Northwest. Leah pada awalnya ditangkap FBI atas tuduhan terlibat dalam aksi vandalisme pada peringatan May Day awal tahun ini. Buku-buku dan literatur anarkisme yang dimilikinya dijadikan barang bukti oleh para penegak hukum di sana atas keterlibatannya dalam insiden itu.

As if they had taken pointers from Orwell’s 1984, they took books, artwork and other various literature as “evidence” as well as many other personal belongings even though they seemed to know that nobody there was even in Seattle on May Day. While we know that knowledge is powerful, we suspected that nobody used rolled up copies of the Stumptown Wobbly to commit property damage. We saw this for what it was. They are trying to investigate anarchists and persecute them for their beliefs. This is a fishing expedition. This is a witch hunt. Since then, thanks to a Freedom of Information Act request, we have learned that this Grand jury was convened on March 2nd, 2012, two months before the May Day vandalism even took place.

Apa yang kita saksikan sesungguhnya menunjukkan bahwa Amerika bukanlah negeri kebebasan sebagaimana mereka coba tanamkan melalui berbagai jargon dan retorika. Karena penahanan Leah pada dasarnya lebih merupakan upaya pemenjaraan sebuah gagasan. Bahkan dari pengakuan Leah yang ditulis di blog-nya di atas, disebutkan jika Grand jury yang menangani kasusnya malah sudah dibentuk sejak 2 Maret 2012, dua bulan sebelum insiden vandalisme May Day. Artinya, pengadilan untuk Leah sebetulnya sudah disiapkan bahkan sebelum insiden yang akan dijadikan alasan untuk penangkapannya terjadi.

Bagaimana dengan di negeri kita? Tampaknya kecenderungan penguasa di mana pun memang tidak jauh berbeda. Upaya-upaya kriminalisasi terhadap gagasan perlawanan oleh penguasa memang bukan hal yang asing lagi. Jika di Amerika ketakutan atas gagasan anarkisme yang menolak totalitarianisme membuat negara berusaha membungkam gagasan itu dengan mengkait-kaitkan dan menjadikan buku-buku serta literatur anarkisme dengan vandalisme, maka ketakutan rezim di negeri ini atas ajaran Islam ditunjukkan dengan kebiasaan polisi mempublikasikan Al-Quran dan literatur keislaman lainnya sebagai salah satu barang bukti hasil penggeledahan kasus terorisme.

Buku-buku dan literatur lainnya itu sendiri memang jarang dijadikan alasan utama penangkapan dan penahanan seseorang, tapi menjadikannya sebagai salah satu barang bukti dalam suatu kasus pelanggaran hukum sama saja artinya dengan menyatakan jika buku-buku dan literatur itu merupakan alat kejahatan. Sebuah upaya kriminalisasi gagasan dan pemikiran.

Leave a comment