Islam & Kebangsaan

Tulisan yang akan anda baca berikut ini merupakan salah satu karya Hassan Bin Ahmad, yang lebih dikenal lagi dengan panggilan Ahmad Hasan atau A Hasan[1], salah satu tokoh pergerakan di era kolonialisme Belanda.

Meskipun dikenal sebagai salah satu teman dekat sekaligus guru Soekarno dalam mempelajari Islam, A Hasan juga diketahui bersebrangan secara ideologis dengan Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI itu. Polemik diantara keduanya seputar model kebangsaan dan kenegaraan menghiasi media-media pergerakan pada saat itu, era yang oleh Takashi Shiraishi disebut sebagai age in emotion, yang menurutnya masa ketika bangsa Indonesia rajin membaca dan mendiskusikan ide-ide yang terinspirasi dari gerakan reformasi Islam di Timur Tengah untuk pembaruan semangat keislaman dan melawan pengaruh kolonial Barat. Soekarno yang mengidolakan Mustafa Kemal Attaturk, lebih memilih sekularisme sebagai jalan bagi Indonesia merdeka, sebagaimana Turki, sedangkan A Hasan yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi dan khazanah keislaman tentu saja memandang Islam lah jawaban bagi keterjajahan bangsanya.

Bagaimanapun, semangat keduanya sama-sama turut mewarnai gerakan perlawanan rakyat atas kolonialisme Belanda hingga era revolusi nasional. Sayangnya, pemberangusan perwakilan dan pandangan politik yang berbeda dengan penguasa pasca kemerdekaan, baik pada era orde lama (pembubaran Dewan Konstituante, pembubaran Masyumi, penangkapan tokoh-tokoh pergerakan Islam yang tidak sehaluan dengan pemerintah, dsb.) maupun orde baru (penerapan Asas Tunggal, pemenjaraan tokoh-tokoh yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, dsb.) telah menjadikan khazanah keislaman yang pada dasarnya menjadi semangat pembebasan dan kemerdekaan bangsa ini, kini hampir tidak dikenali lagi. Wacana Islam dan kenegaraan kini menjadi sesuatu yang asing dan tabu, bahkan secara curang dan manipulatif diasosiasikan dengan separatisme juga terorisme.

Karena itu, saya hadirkan kembali buah pikiran A Hasan ini kepada anda agar kita tidak hilang ingatan atas salah satu elemen perjuangan kemerdekaan negeri ini. Selamat membaca.

ISLAM & KEBANGSAAN[2]

I

Wajib Mu’minien Menjalankan Hukum-Hukum Allah dan Rasul-Nya

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

1. Artinya: Dan barang siapa tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. (Q. Al-Maa-idah 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

2. Artinya: Dan barang siapa tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang zhalim. (Q. Al-Maa-idah 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

3. Artinya: Dan barang siapa tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang fasiq. (Q. Al-Maa-idah 47)

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

4. Artinya: Dan hendaklah engkau hukumkan diantara mereka dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau turut hawa nafsu mereka, dan awaslah percobaan mereka buat memalingkanmu daripada sebagian hukum Allah yang diturunkan oleh Allah kepadamu. Maka sekiranya mereka berpaling, ketahuilah, maka tidak lain melainkan Allah hendak kenakan (‘adzab) kepada mereka dengan sebab sebagian dari dosa-dosa mereka; dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia itu durhaka. (Q. Al-Maa-idah 49)

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

5. Artinya: Apakah hukuman jahiliyah mereka maukan, padahal bukankah tidak ada siapa-siapa yang lebih baik hukumannya daripada Allah, bagi kaum yang percaya? (Q. Al-Maa-idah 50)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

6. Artinya: Tidak lain ucapan Mu’minien apabila diajak mereka kepada Allah dan Rasul-Nya supaya menghukum di antara mereka, melainkan perkataan: “Kami dengan dan kami tha’at”, dan mereka itulah orang-orang yang dapat kebahagiaan. (Q. An-Nur 51)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

7. Artinya: Dan tidak ada pilihan1) bagi Mu’minien dan Mu’minaat dalam urusan mereka apabila Allah dan Rasul-Nya telah putuskan sesuatu urusan; dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya2), maka sesatlah ia satu kesesatan yang jauh. (Q. Al-Ah-zaab 36)

وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ

8. Artinya: Dan apabila diajak mereka kepada Allah dan Rasul-Nya supaya menghukum diantara mereka, tiba-tiba segolongan dari mereka berpaling. (Q. An-Nur 48)

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

9. Artinya: Tetapi tidak! Demi Tuhanmu! Tidak (dipandang) mereka beriman hingga mereka jadikanmu hakim di dalam urusan yang mereka berselisihan mereka padanya, dan hingga mereka menyerah sungguh-sungguh, kemudian mereka tidak rasakan kesempitan dalam hati-hati mereka tentang apa yang engkau putuskan. (Q. An-Nisaa’ 65)

Tiga ayat yang pertama menegaskan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah buat jadi undang-undang di antara manusia di dunia dan dalam urusan akhirat itu, kafir, zhalim dan fasiq.

Tiga gelaran itu bisa dibagi buat tiga keadaan:

1) Dikatakan seorang penghukum itu kafir, apabila dia menganggap, bahwa hukum Allah itu tidak baik, atau ia anggap ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah.

2) Dikatakan seorang yang menghukum itu zhalim, apabila ia menghukum dengan tidak tahu adanya hukum Allah di tentang itu, yang berarti ia meletakkan sesuatu hukum pada bukan tempatnya; sedang makna zhalim itu ialah seorang yang meletakkan sesuatu hukum pada bukan tempatnya, atau bisa juga dikata, bahwa yang menghukum dengan hukum yang tidak dari Allah itu, zhalim: penganiaya, atau menganiaya diri sendiri, karena menyebabkan dirinya akan menerima balasan yang pedih dari Allah.

3) Dikatakan seorang hakim itu fasiq: orang yang durhaka, apabila ia tahu ada hukum Allah di tentang satu urusan, tetapi dengan salah satu sebab, dengan sengaja atau terpaksa, ia menghukum dengan undang-undang yang tidak ditentukan oleh Allah.

Ada juga ‘ulama’ berpendapat, bahwa yang menghukum dengan undang-undang yang tidak diturunkan oleh Allah itu kafir, dan tiap-tiap kafir itu sudah tentu zhalim dan fasiq. Jadi, tiga gelaran itu kena atas orang yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah.

Walaupun dengan cara apa saja ditafsirkan dan diterangkan, tidak urung tiga Ayat itu memberi makna, bahwa manusia, terutama Muslimien, wajib menghukum manusia dengan undang-undang yang diturunkan oleh Allah.

Orang yang tidak menghukum demikian, sekurang-kurangnya, durhaka kepada Allah.

Keterangan ke 4, memerintah supaya Nabi saw. atau tiap-tiap seorang yang jadi Hakim, menghukum dengan hukum yang diwahyukan oleh Allah; dan Ayat tersebut memberi peringatan, jangan sampai hakim itu terturut nafsu mereka yang tidak suka kepada hukum Allah, lalu terpaling kepada hukum buatan manusia.

Kalau kita perhatikan dengan sedikit sungguh-sungguh, niscaya kita dapati seolah-olah ayat itu berkata: “Hai Muslimien! Peganglah hukum Allah! Janganlah kamu tertipu dengan ajakan kaum kebangsaan buat bergerak mengatur negeri dengan hukum-hukum bikinan manusia! Ingat dan sadarlah dan bekerjalah buat mencari kemerdekaan diri dan tanah air kamu untuk melakukan padanya qanun Ilahi, yang tidak ada bandingannya itu, di antara manusia”.

Keterangan ke 5, dengan sedikit renungan, bisa kita baca maksudnya: “Apakah kaum kebangsaan mau menjalankan hukum Jahiliyah yakni hukum buatan manusia, padahal hukum Allah itu begitu baiknya bagi kaum yang beriman?”

Keterangan ke 6 dan ke 7 menunjukkan, bahwa sebenar-benar Mu’mien, ialah orang-orang yang apabila diajak kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, yang buat kita di sini, berarti pergerakan yang berdasar Islam, mereka terima dengan baik dan mereka tidak berkata: “Kita mesti adakan hukum yang netral, karena di dalam bangsa kita ada bermacam-macam Agama”.

Ayat ke 8 membayangkan kepada kita keadaan zaman sekarang seolah-olah Ayat itu baru saja diwahyukan, yaitu apabila kita ajak kepada dasar Islam, mereka berpaling kepada dasar kebangsaan.

Ayat ke 9 menungjukkan, bahwa bukan saja manusia wajib menurut hukum Allah, bahkan tidak dinamakan Mu’minien kalau mereka belum terima keputusan Nabi saw. yang buat kita sekarang Hadiestnya dengan segala senang hati.

Ringkasannya:

1) Wajib kita jalankan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya di dalam negeri kita, yang berarti wajib pergerakan kita menuju mendirikan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.

2) Wajib kita berjaga diri, jangan sampai kaum pergerakan palingkan kita daripada menuju ke hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya ke undang-undang bikinan netral.

3) Wajib kita berikhtiar menghindarkan hukum-hukum bikinan manusia terutama dari negeri Islam.

4) Yang sebenar-benarnya Mu’min itu, ialah orang yang apabila diajak berdasar firman Allah dan sabda Rasul, mereka turut dengan senang hati.

5) Janganlah kita jadikan ketua akan mereka yang apabila diajak kepada berdasar Agama Allah dan Rasul-Nya, lalu berpaling membelakang.

*****

1) Maksudnya mesti terima dengan baik.
2) Yakni barangsiapa tidak terima hukum Allah dan Rasul-Nya.

____________________

[1] Republika Online pernah menurunkan satu seri mengenai biografi singkat A Hasan yang mudah-mudahan bisa membuat kita lebih mengenal lagi sosok yang satu ini. Silahkan kunjungi 1, 2, 3, dan 4

Mengenai kiprah pergerakan A. Hasan dan kawan-kawan melalui Persis dan media lainnya seperti Madjallah Comite “Pembela Islam” bisa dibaca juga di link berikut ini, atau di sini.

[2] Tulisan ini saya ambil dari sebuah kompilasi karya A. Hasan dengan judul yang sama, Islam & Kebangsaan, Cet. I/1984, Penerbit Lajnah Penerbitan Pesantren Persis Bangil (LP3B), Bag. 1, hal. 1-7. Islam & Kebangsaan sebelumnya pernah diterbitkan secara terpisah sebagai buku tersendiri pada tahun 1941.

Bagian selanjutnya dari buku ini akan saya coba sajikan secara bersambung.

Leave a comment